Yanto alias Coy berjualan di SD Cihuni 2, Tangerang sejak tahun 2004. Tak banyak yang tau kalau ia kabur dari Brebes karena telah melukai seorang siswa saat tawuran antar sekolah.
Yanto datang ke Tangerang tahun 2003. Saat itu ia masih kelas satu SMA di Brebes, kampung halamannya. Sebuah peristiwa mengubah hidupnya seketika.
Pada suatu hari, terjadi tawuran antar sekolah, sekolah Yanto dan SMA tetangga. Ia adalah salah satu yang terlibat di dalamnya. Yanto saat itu membawa cutter sebagai senjatanya.
Bermaksud membela diri, ia tak sengaja melukai leher seorang siswa. Ia panik. Yang diingatnya hanyalah kedua orang tuanya di Tangerang. Dengan masih memakai seragam sekolah, ia nekat menyusul orang tuanya yang lebih dulu merantau ke Tangerang.
Baju masih bersimbah darah. Luka tampak di sana-sini, di sekujur tubuhnya. Ia nekat kabur dari Brebes menuju Tangerang naik bis karena hanya ingin selamat. Ia takut dituntut. Takut masuk penjara. “Waktu itu polisi datang ke sekolah dan saya ketakutan.” imbuhnya mengenang.
Orang tuanya heran melihat kedatangannya. “Waktu ditanya ada apa? Saya hanya menjawab bosan sekolah saja. Saya belum berani mengaku kalau saya kabur ke sini karena telah melukai anak orang” jelasnya.
Sekarang, setelah bertahun-tahun lalu peristiwa itu, ia telah siap mengatakan hal yang sebenarnya pada kedua orang tuanya. “Lagipula peristiwanya sudah lama. Saya sudah tak ketakutan lagi dan orang tua juga pasti tak panik sekali.” tambahnya.
Di tahun 2003, ia tak langsung berjualan. Ia masih bermain-main dengan teman-teman yang dikenalnya di Tangerang. “Saya melihat ada teman saya yang berjualan. Saya malu dengan orang tua. Masa mau main harus minta sama orang tua.” pikirnya waktu itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk berjualan. Usaha pertamanya adalah otak-otak yang dijualnya di Kampuung Bambu, Bonang. Masih belum puas, ia mencoba bekerja dengan menunggui warung milik orang lain. “Nungguin warung gaji gak tersisa. Hanya bisa bayar kontrakan dan uang makan.” ceritanya.
Tak lama kemudian, dengan modal awal 700 ribu rupiah, ia membuat gerobak sendiri dan berjualan es teh manis yang sekarang dijajakan di halaman samping SD Cihuni 2, seberang kampus Universitas Multimedia Nudantara.
Coy – begitu ia disapa anak-anak Cihuni, menyebutkan kalau modal untuk berjualan es setiap hari sebesar 70 ribu rupiah. Dengan uang segitu, ia dapat membeli teh, es balok, dan gula pasir.
Keuntungannya hanya 40 ribu rupiah setiap hari. “Itu belum balik modal.” katanya sambil melayani Iqbal, siswa kelas 5 SD yang membeli es teh buatan Yanto. Dengan penghasilannya, ia mengaku masih merugi.
Tak ingin membuang kesempatan, Yanto pun berjualan pada malam harinya. Pada malam hari, ia menjual es kelapa muda di pasar malam. “Sehari bisa dapat 130 ribu di pasar malam.” ujarnya puas.
Ia berjualan di sana dari pukul lima sore hingga pukul sepuluh malam. Hasilnya lumayan, ia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih dari cukup.
Selama berjualan, banyak pengalaman menarik yang pernah terjadi. Baik saat berjualan es teh manis maupun es kelapa di pasar malam.
“Saya dan teman-teman sering memisahkan anak-anak berkelahi di lapangan. Palingan gara-gara main bola.” akunya.
Lain cerita saat ia berjualan es kelapa muda di pasar malam. Ia pernah mendorong motornya hingga pukul lima pagi menuju kontrakannya di Bonang karena mogok. “Kejadian itu tidak pernah saya lupakan.” kenangnya sambil tersenyum.
Yanto menjelaskan, kalau pasar malam yang ia datangi selalu berpindah-pindah tempat. Bulan ini di Danau Kelapa Dua, bulan depan bisa di tempat lain.
Sewa tempatnya pun tak mahal. Hanya Rp 8.000,00 per malam. Namun, ia harus membayar Rp 30.000,00 untuk pendaftaran pertama. “Itu biaya listrik dan pemasangan lampu.” Tambah pria yang baru saja menikah ini.
Yanto mengaku, kadang ia merasa jenuh dengan pekerjaannya saat ini. “Usaha begini-begini saja. Tapi mau bagaimana lagi, ijazah SMA saya tidak punya.” tukasnya menyesal.
Untuk melepas uneg-unegnya, ia sering berbagi cerita kepada teman-teman sesama pedagang di SD Cihuni 2. Bapak Komar, pedagang martabak mini yang berjualan tak jauh dari gerobak es teh manisnya, menjadi teman curhatnya.
Begitu pula dengan Bang Ridan penjual cilok dan Pak Haji penjual nasi uduk. Mereka adalah teman-teman Yanto yang selalu siap mendengarkan keluh kesah pria berkulit sawo matang ini.
“Yanto itu orangnya asik, fair, dan punya pemikiran yang dewasa.” Ungkap Bang Komar si penjual martabak mini.
Selain curhat untuk meringankan beban pikiran, ia mempunyai hobi memancing dan bermain catur. “Saya sering mancing di Danau Kelapa Dua.” Kata pemuda yang dulu bercita-cita menjadi pelukis ini.
Diakuinya, olahraga catur menjadi alternatif untuk meringankan beban pikiran karena pikirannya hanya tertuju pada papan catur saat bermain, bukan yang lain. “Seolah-olah masalah hilang, karena papan aja dipikirin.” Ujarnya setengah bercanda.
Dulu, anak ke dua dari lima bersaudara ini memiliki cita-cita. Ia bercita-cita menjadi pelukis. “Saya suka menggambar. Saya merasa di dalam gambar ada kehidupan.” ujarnya.
Pernah suatu hari ia memperhatikan pelukis jalanan dari pagi hingga sore hanya ingin melihat bagaimana pelukis tersebut memainkan kuasnya. “Waktu itu di Jatinegara. Saya tongkrongin pelukisnya.” Katanya semangat.
Kini, ia hanya berharap agar kehidupannya membaik. Tak hanya pikirannya yang membaik saat bermain catur saja. Ia sungguh-sungguh ingin menebus kesalahannya yang dulu.
Sampai saat ini, ada keinginan untuk menjenguk nenek-kakeknya di Brebes. Ia ingin meminta maaf. “Tapi belum ada biaya untuk pulang.” akunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar